Permasalahan Narkoba di Indonesia
Saat
ini menurut hasil penelitian jumlah penyalahguna narkoba adalah 1,5% dari
penduduk Indonesia atau sekitas 3,3 juta orang. Dari 80 juta jumlah pemuda Indonesia,
3 % sudah mengalami ketergantungan narkoba, serta sekitar 15. 000 orang telah
meninggal dunia (BNN,2006). Bahkan menurut Kalakhar BNN, Drs I Made Mangku
Pastika, setiap hari, 40 orang meninggal dunia di negeri ini akibat over dosis
narkoba. Angka ini bukanlah jumlah yang sebenarnya dari penyalahguna narkoba.
Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar. Menurut Hawari (2002), fenomena
penyalahgunaan narkoba itu seperti fenomena gunung es. Angka yang sebenarnya
adalah sepuluh kali lipat dari jumlah penyalahguna yang ditemukan.
Meningkatnya
jumlah penyalahguna narkoba dari tahun ke tahun tentunya tidak bisa dianggap
masalah yang ringan, tetapi perlu dianggap serius agar penanggulangannya juga
bisa dilakukan secara serius.
Secara umum diakui bahwa permasalahan
penyalahgunaan narkoba di Indonesia sangatlah kompleks, baik dilihat dari
penyebabnya maupun penanganannya. Bila dilihat dari penyebab terjadinya,
penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi
satu sama lain. Faktor – faktor tersebut antara lain faktor letak geografi
Indonesia, faktor ekonomi, faktor kemudahan memperoleh obat, faktor keluarga
dan masyarakat, faktor kepribadian serta faktor fisik dari individu yang
menyalahgunakannya.
Dilihat
dari letak geografi, Indonesia memang sangat beresiko menjadi sasaran empuk
pengedar narkoba karena posisi Indonesia yang terletak diantara dua benua dan
dua samudra. Disamping itu juga karena negara Indonesia adalah negara kepulauan
dengan banyak pelabuhan yang memudahkan jaringan gelap dalam mengedarkan
narkoba.
Dari
faktor ekonomi, keuntungan yang berlipat dari bisnis narkoba menyebabkan
semakin maraknya bisnis ini di negeri kita. Dalam satu hari seorang pengedar
bisa mendapatkan uang yang sangat banyak karena harga narkoba itu mahal. Satu
pil ekstasi saja harganya 40.000 rupiah. Disamping faktor keuntungan, faktor
sulitnya mendapatkan pekerjaan dan gaya hidup yang serba konsumtif juga
merupakan faktor penyebab yang mendorong seseorang menjadi pengedar narkoba.
Untuk
faktor kemudahan memperoleh obat, saat ini di Indonesia narkoba bisa dengan
mudah diperoleh baik ditempat umum seperti warung maupun di tempat – tempat
tertentu seperti diskotik. Banyak yang menawarkan dan menipu si korban agar mau
mencoba. Awalnya diberikan gratis dengan dalih pertemanan atau ingin menolong
mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Bahkan narkoba bisa ditemukan di kamar
kos mahasiswa. Hasil penelitian Amin
(2002) mengungkap bahwa mahasiswa yang kos di jatinangor, Sumedang memperoleh
narkoba dari temannya yang sama – sama kos. Mereka menggunakan narkoba dan
melakukan sex bebas sebagai sarana rekreasi.
Faktor
keluarga juga turut berperan dalam maraknya penyalahgunaan narkoba. Zaman
sekarang, akibat tuntutan kebutuhan hidup, kedua orang tua harus membanting
tulang untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Karena kesibukannya, orang tua
terkadang tidak punya waktu untuk berkomunikasi dengan anak – anaknya.
Dampaknya anak merasa tidak diperhatikan sehingga mereka mencari orang lain
diluar rumah yang mau memperhatikan mereka, dan membentuk nilai – nilai sendiri
dengan mengkaitkan dirinya dengan cara menggunakan narkoba (Kusumanto dan
Saifun,1975 dalam Yongky, 2003). Hal tersebut juga didukung oleh Hawari (2002)
yang menyatakan bahwa alasan remaja menyalahgunakan narkoba adalah karena
kehidupan keluarga yang tidak harmonis, orang tua yang terlalu sibuk dan untuk
lari dari masalah yang sedang dihadapi.
Kurangnya
contoh teladan dari orang tua dan kurangnya penanaman disiplin di rumah membuat
anak – anak cenderung bebas melakukan apa saja. Dengan kondisinya yang serba
ingin tahu membuat remaja akhirnya juga terjerumus kepada penyalahgunaan
narkoba.
Faktor
lain yang juga menjadi penyebab banyaknya penyalahguna narkoba adalah
masyarakat. Akibat trend kehidupan yang cenderung individualistis, saat ini
kepedulian diantara anggota masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya
menjadi sangat berkurang. Dulu, bila ada anak tetangga yang bersikap kurang
sopan atau berbuat salah, tetangga berusaha menegur. Tapi sekarang hal itu
sudah tidak terjadi lagi karena pertama merasa bahwa itu bukan anak saya, kedua
karena takut orang tua si anak malah marah kalau anaknya ditegur. Budaya yang
dianut oleh sekelompok masyarakat juga sangat besar pengaruhnya. Budaya ini
terbentuk karena adanya publik figur yang memberikan contoh. Misalnya, saat ini
di kalangan remaja tertentu menyalahgunakan narkoba menjadi kebanggaan karena
artis idola mereka juga menggunakan narkoba.
Faktor
kepribadian seseorang juga berpengaruh terhadap penyalahgunaan narkoba. Menurut
YATIM (1991), penyalahguna narkoba mempunyai ciri kepribadian lemah, mudah
kecewa, kurang kuat menghadapi kegagalan, bersifat memberontak dan kurang
mandiri. Sedangkan hasil penelitian Erwin Wijono, dkk (1982) dalam Yongky
(2003) di RSKO Jakarta menyimpulkan bahwa ketergantungan obat terlarang mudah
terjadi pada mereka dengan ciri –ciri kepribadian : mudah kecewa, cepat emosi,
pembosan, lebih mengutamakan kenikmatan sesaat tanpa memikirkan akibatnya di
kemudian hari atau pemuasan segera.
Faktor
kepribadian ini sangat erat kaitannya dengan faktor keluarga, dimana
kepribadian seseorang sebenarnya banyak dibentuk dalam keluarga. Bagaimana
seorang anak diasuh oleh orang tuanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya
kepribadiannya. Seseorang yang diasuh dengan pola asuh yang
kurang tepat seperti terlalu dimanjakan atau sebaliknya terlalu
dikekang akan membentuk kepribadian yang lemah dan tidak mandiri.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Peredaran Narkoba
Karena
penyebab yang sangat kompleks dari penyalahgunaan narkoba, penanggulangannyapun
tidaklah sederhana. Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh pemerintah dalam
rangka memerangi narkoba. Untuk mengkoordinasikan penanganan masalah tersebut
pemerintah sejak tahun 2002 telah membuat suatu Badan yang mengurusnya yaitu
Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan UU no 22 th 1997 pasal 54 serta
Kepres no 17 th 2002. Tugas pokok BNN adalah mengkoordinasikan instansi terkait
dalam menyusun kebijakan dan pelaksanaannya di Bidang penyediaan, pencegahan,
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Disamping itu juga
melaksanakan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba.
BNN
dalam operasionalnya ditingkat provinsi dilaksanakan oleh Badan Narkotika
Provinsi (BNP) dan pada tingkat kabupaten Kota oleh Badan narkotika
Kabupaten/Kota (BNK). Sampai saat ini telah terbentuk 31 BNP dari 33 provinsi
dan baru terbentuk 270 BNK dari 460 Kabupaten Kota di seluruh Indonesia.
Sayangnya, baru sebagian kecil dari BNP dan BNK tersebut yang mempunyasi kantor
sendiri dan mendapat anggaran dari APBD (SADAR, Maret, 2007). Akibatnya, fungsi
BNP dan BNK sendiri belum banyak terlihat.
Strategi
Nasional .P4GN diarahkan pada terwujudnya Indonesia bebas NARKOBA th 2015
melalui Pengurangan permintaan (demand reduction), pengurangan sediaan (suplai
reduction) dan pengurangan dampak buruk (harm reduction) yang ditunjang dengan
program penelitian dan pengembangan, pemantapan koordinasi antar lembaga,
pelibatan masyarakat dalam kegiatan P4GN dan kerjasama international (SADAR,
Maret, 2007).
Dalam
upaya pengurangan permintaan melalui upaya preventif, pemerintah melalui BNN
telah melakukan berbagai upaya seperti pelatihan bagi para fasilitator Penyuluh
P4GN sebagai upaya meningkatkan keterampilan mereka. Disamping itu juga telah
bekerjasama dengan sekolah – sekolah untuk melakukan penyuluhan. Melakukan kampanye anti narkoba
dengan slogan anti narkoba seperti “Say no to drug”, Narkoba, kado istimewa
dari neraka, dan sebagainya. Melakukan peringatan hari anti narkoba setiap
tahun. Mengadakan buku – buku, leaflet, pamlet, poster, VCD dan sebagainya yang
dapat digunakan masyarakat untuk memahami tentang narkoba. Disamping itu juga
telah diterbitkan tabloid SADAR oleh BNN yang berisikan berita seputar narkoba.
Pada bulan mei 2007 Pemerintah juga telah bekerjasama dengan Metro TV untuk
kampanye perang melawan narkoba.
Dalam
upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba pemerintah melalui aparat keamanan
dan penegak hukum telah banyak melakukan penangkapan , penggerebekan serta
pemberian hukuman. Seperti misalnya penutupan pabrik narkoba di Cikande,
Serang, Banten, tahun 2005, penggeledahan di Lembaga Pemasyarakatan dan
pemberian hukuman mati oleh Mahkamah Agung pada 9 orang pengelola pabrik
ekstasi Cikande baru –
baru ini (Pikiran Rakyat, mei 2007).
Dalam
upaya kuratif dan rehabilitatif, pemerintah telah berupaya mengadakan pusat –
pusat rehabilitasi bagi korban narkoba seperti misalnya RSKO di Jakarta dan
pusat rehabilitasi narkoba di berbagai Rumah sakit Jiwa di Indonesia dan panti
rehabilitasi. Penanganan korban di pusat rehabilitasi beragam, ada yang
menggunakan substitusi dengan obat dan ada pula tanpa obat, ada yang
menggunakan pendekatan terapeutic community, pendekatan spiritual dan lain –
lain.
Bukan
hanya pemerintah yang telah berupaya melakukan upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Masyarakatpun sebenarnya sudah banyak
yang berperan. Banyak LSM, yayasan maupun unsur masyarakat seperti Karang taruna
dan tokoh masyarakat yang dengan swadaya melakukan upaya – upaya preventif,
promotif dan rehabilitatif.
Apakah
upaya tersebut telah mampu mengatasi permasalahan narkoba ? Secara jujur tentu
belum karena angka penyalah gunaan narkoba terus meningkat dari tahun ke tahun.
Analisa Terhadap
Berbagai Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Peredaran Narkoba
Dari
Uraian diatas dapat dikatakan bahwa telah banyak upaya yang dilakukan
pemerintah dan organisasi masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi masalah
penyalahgunaan narkoba. Akan tetapi masih banyak kelemahan dan kendala yang
dihadapi.
Kelemahan
pertama yaitu program BNN sampai tahun 2006 masih banyak terfokus pada suplai
reduction (SADAR, Desember, 2006). Pemantapan seaport dan airport Interdiction menjadi
salah satu upaya BNN bersama instansi terkait untuk mencegah masuknya narkoba
ke wilayah Indonesia. Hasilnya cukup memuaskan, namun karena di Indonesia
banyak pelabuhan laut terbuka yang tidak punya alat pendeteksi canggih seperti
X-Ray di bandara, maka peredaran gelap narkoba masih saja terjadi (KOMPAS,
2005). Kasus 966 kilogram shabu di teluk Naga yang terungkap pada bulan Agustus
2005 cukup sebagai bukti sulitnya mengontrol kejadian ini. Bahkan akhir – akhir
ini Indonesia bukan lagi hanya sebagai kawasan peredaran saja tapi juga sebagai
produsen. Beberapa pabrik narkoba telah berdiri seperti misalnya pabrik ekstasi
di Serang, Banten.
Kedua,
BNN terlalu banyak mengerjakan program sendiri, kurang melibatkan instansi
terkait dan LSM. Seperti yang diungkapkan oleh Veronica, direktur YCAB Jakarta.
BNN harusnya seperti Bandar program, memberdayakan LSM untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan keahliannya kemudian memberikan akses dan fasilitas kepada mereka
untuk mempermudah pekerjaan (SADAR, Desember, 2006). BNN sebaiknya lebih
memerankan fungsinya sebagai fasilitator dan koordinator kegiatan – kegiatan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba dengan mendorong berbagai unsur yang ada
di masyarakat untuk lebih banyak terlibat dalam upaya memerangi penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkoba.
Ketiga,
BNP serta BNK sebagai perpanjangan tangan BNN selama ini belum berfungsi dengan
baik. Beberapa BNP dan BNK hanya melakukan kegiatan yang sifatnya seremonial
seperti misalnya peringatan hari anti NARKOBA tanpa menjalankan fungsi utamanya
sebagai fasilitator dan koordinator program pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba. Akibatnya timbul ketidakpuasan dari masyarakat terhadap
kinerja BNP dan BNK. Banyak dari LSM yang ada di daerah merasa tidak puas
terhadap kinerja BNP dan BNK. Konsekuensi lain adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh institusi
terkait dan kelompok masyarakat tidak terkoordinir dengan baik sehingga tidak
mencapai sasaran.
Untuk
itu diperlukan upaya evaluasi dan monitoring terhadap kinerja BNN, dan lebih
penting lagi evaluasi dan monitoring terhadap kinerja BNP dan BNK. Disamping
itu Pemerintah perlu membuat alat ukur untuk mengukur keberhasilan BNP dan BNK
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba. Jangan sampai
program – program yang ada hanyalah diatas kertas atau lebih parah lagi
hanyalah fiktif belaka.
Keempat
adalah kurangnya kesadaran masyarakat awam tentang peran mereka dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Hal ini mungkin terkait
dengan kurangnya sosialisasi keberadaan BNN, BNP dan BNK serta program –
programnya ke masyarakat sehingga masyarakat banyak yang tidak mengenal adanya
BNN, BNP dan BNK. Masyarakat hanya tahu bahwa permasalahan narkoba adalah
tanggung jawab pihak kepolisian saja. Karena kurangnya pengetahuan dan
ketakutan yang berlebuhan, mereka cenderung tidak melaporkan kasus – kasus yang
mereka temukan. Salah seorang Kanit narkoba di Cimahi menceritakan
pengalamannya tentang sulitnya mendapatkan informasi dari masyarakat. Dia
pernah mengiklankan “siapa yang mau memberi informasi tentang adanya kasus
narkoba di daerah mereka, akan dibayar tinggi.” Tapi tetap tidak ada yang
melapor.
Untuk
lebih meningkatkan peran serta masyarakat, maka dalam setiap kampanye atau
penyuluhan di masyarakat perlu disampaikan tentang konsep bela negara dimana
seluruh rakyat Indonesia wajib membela negara. Jadi semua warga negara
diwajibkan untuk perang melawan penyalahgunaan dan perdagangan gelap narkoba.
Disamping itu kepada BNN, BNP dan BNK agar lebih meningkatkan sosialisasinya ke
masyarakat, terlebih lagi masyarakat di pedesaan.
Kelima
adalah masih kurangnya melibatkan unsur – unsur masyarakat yang sebenarnya
sangat strategis, efektif dan efisien untuk upaya preventif seperti tokoh
agama, kelompok ibu – ibu PKK, dan
para kader di tingkat RT dan RW. Permasalahan penyalahgunaan narkoba sangat
terkait dengan masalah moral dan kepribadian. Karena itu sangatlah tepat untuk
melibatkan para tokoh agama atau ulama atau ustad dan ustadzah dalam program pencegahan.
Jika perlu mereka didukung dengan dana yang memadai untuk menjalankan tugas
mereka. Bukan hanya untuk sektor terapi dan rehabilitasi seperti yang telah
dilakukan BNN dengan membuat kesepakatan bersama antara BNN, Colombo plan dan
Nahdatul ulama pada bulan Februari 2006
Para
ibu – ibu PKK dan Ibu – ibu kader juga sangat penting untuk dilibatkan dalam
program pencegahan. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sekitar 80 % dari
pengguna adalah remaja. Remaja ini masih dalam tanggung jawab orang tua. Kaum
Ibu merupakan orang pertama yang bertugas mendidik putra – putrinya.
Ketidaktahuan kaum ibu tentang tumbuh kembang anak dan remaja, pola asuh yang
tepat bagi anak dan remaja serta narkoba bisa menjadi penyebab remaja
terjerumus menyalahgunakan narkoba.
Keenam
adalah penyuluhan yang dilakukan selama ini pada masyarakat terutama remaja
kurang memperhatikan kondisi sasaran. Penyampaian materi cenderung monoton,
kurang variatif. Hasil penelitian Suryani (2006), baru – baru ini tentang
persepsi remaja terhadap pelaksanaan penyuluhan narkoba di Jatinongor
menunjukkan 54,4 % responden menyatakan negatif terhadap metode dan pemberi
materi pada penyuluhan yang pernah mereka ikuti. Mereka menyarankan agar metode
yang digunakan disesuaikan dengan kondisi remaja.
Ketujuh
adalah bahwa program pencegahan dan rehabilitasi narkoba belum menjangkau
daerah pedesaan. Banyak orang – orang di pedesaan yang tidak paham tentang
narkoba sehingga mereka dengan mudah terjerumus. Sebagai contoh banyak diantara
para korban yang ada di Panti rehabilitasi Pamardi Putra Lembang, Bandung
berasal dari daerah pedesaan seperti Cililin, pedesaan garut dan kuningan, Jawa
Barat. Di daerah pedesaan di Sumatra ketika saya kunjungan kesana,
masyarakatnya banyak yang tidak mengerti tentang permasalahan narkoba dan
mereka belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang narkoba. Banyak remaja yang
terlibat penyalahgunaan narkoba.
Masalah
lain adalah banyak dari slogan – slogan yang dibuat kurang simpati, terkesan
seram, dan misleading
information : sebagai contoh “NARKOBA kado
istimewa dari neraka”. Apa betul narkoba itu membawa orang ke neraka, atau
menyebabkan orang masuk neraka? Bukankah narkoba itu bermanfaat untuk
pengobatan? Yang ke neraka adalah orang yang menyalahgunakan, mengedarkan atau yang
melindungi pengedarnya bukan narkobanya. “NARKOBA adalah barang haram”.
Betulkah narkoba itu barang haram? Kalau begitu tidak boleh digunakan sekalipun
untuk tujuan pengobatan.
Kalimat
“Perangi NARKOBA” juga kurang tepat. Kalau perang artinya narkoba itu musuh,
padahal kalau dilihat defenisinya menurut WHO, narkoba adalah semua zat,
kecuali makanan, minuman atau oksigen yang jika dimasukkan kedalam tubuh dapat
mengubah fungsi tubuh secara fisik dan atau psikologis. narkoba itu terdiri
dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Narkotika menurut UU no
22 th1997 adalah suatu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau peribahan kesadaran, hilangnya rasa dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Sedangkan defenisi psikotropika menurut UU no 5 tahun1997 adalah zat atau obat
baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktifitas normal dan perilaku. Narkoba itu sebetulnya sudah
ada sejak zaman dahulu dan sebenarnya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kenapa
diperangi ? Siapa dan apa sebenarnya yang harus diperangi ?
Ungkapan
say no to drug, menurut Veronica Colondam, Chief Excecutife Officer YCAB, untuk
sebagian orang memang ampuh tapi untuk sebagian orang malah jadi penasaran.
Kenapa say no? Tanpa pengetahuan yang memadai malah membuat mereka menjadi
penasaran (SADAR, Desember, 2006). Hasil penelitian LSM KEREN terhadap siswa
SMA swasta di Cimahi menunjukkan bahwa 59 % responden menunjukkan sikap yang favorable terhadap penyalahgunaan narkoba. Pernyataan yang menyatakan
menggunakan NARKOBA sama dengan penyalahgunaan narkoba, bahwa penggunaan rokok
dan ganja merupakan “pintu gerbang” ke “zat yang lebih keras” agaknya kurang
tepat karena ada perbedaan antara mencicipi, menggunakan, menyalahgunakan dan
kecanduan. Dan penggunaan satu jenis narkoba tidak selalu pasti mengarah kepada
penggunaan narkoba lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut
diatas, maka slogan
– slogan yang berkaitan dengan narkoba yang telah beredar di masyarakat, perlu
dievaluasi sejauh mana keefektifannya, bagaimana persepsi masyarakat terutama
target sasaran terhadap slogan tersebut dan bagaimana dampaknya. Sekaranglah waktunya
untuk merobah cara – cara lama yang memberikan informasi yang cenderung menakut
– nakuti dan berlebihan menjadi pemberian informasi yang jujur, proporsional
dan cara pandang yang positif. Sebagai contoh slogan yang baik misalnya Demi
bangsa dan negara ini, mari kita semua berjuang memerangi penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba.
Masalah yang paling serius
adalah adanya unsur korupsi dan kolusi dalam penanganan kasus NARKOBA. Hasil
penelitian kualitatif yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa Indonesia
yang kuliah di luar negeri mengungkap tentang bagaimana mafia peradilan dalam
penanganan kasus narkoba. Disamping itu juga, rendahnya moral para penegak
hukum, membuat mereka sendiri terjerumus kedalam penyalahgunaan narkoba, bahkan
menjadi pelindung para pengedar narkoba. Kasus seorang Kapolsek di Bogor baru –
baru ini yang tertangkap basah sedang menggunakan shabu merupakan salah satu
dari banyak kasus yang sangat memalukan dan membahayakan.
Berkaitan dengan permasahan
ini, agaknya memang cukup sulit untuk diatasi. Karena korupsi sudah menjadi
budaya di negeri kita ini. Orang akan merasa malu kalau ketahuan maling, tapi
orang tidak merasa malu kalau ketahuan korupsi. Padahal maling dan korupsi itu
kan secara hakekatnya sama.
Mungkin perlu adanya sebuah
terobosan dalam menghapus budaya
ini. Perlu ditanamkan kepada masyarakat bahwa korupsi itu adalah maling. Atau
hilangkan saja kata korupsi, sebut saja maling untuk semua perbuatan yang
mengambil sesuatu yang bukan haknya. Jadi sekalipun dia pejabat atau penegak
hukum, seandainya dia mengambil sesuatu yang bukan haknya, dia tetap dibilang
maling, sama seperti seorang penggangguran yang maling motor.
Pemberian hukuman yang tegas
bagi maling – maling yang berkeliaran di negara kita ini, sangatlah penting
agar memberi efek jera dan takut untuk melakukannya. Seharusnya ada pemimpin
yang berani menegakkan hukum dengan tegas dan adil tanpa pandang bulu.
Disamping itu menumbuhkan
kesadaran berTuhan (God Consciousness) bagi para penegak hukum sangatlah
penting untuk menumbuhkan keberanian
mereka dalam menangani kasus – kasus peredaran gelap narkoba dan kasus – kasus
korupsi lainnya, jangan sampai kasus – kasus yang telah terungkap tidak
dituntaskan. Dengan menumbuhkan kesadaran berTuhan seseorang akan bekerja
dengan ikhlas (God oriented) dan ihsan (melakukan sesuatu dengan kesadaran
bahwa semua perbuatannya dilihat Allah). Sehingga membuat seseorang tidak
berani berbohong, berbuat curang, memanipulasi data atau perbuatan tercela
lainnya.
Kesimpulan
Permasalahan
penyalahgunaan dan pererdaran gelap narkoba memang bukanlah masalah yang
sederhana. Masalahnya sangat komplek dan bisa dikatakan rumit. Karena itu
diperlukan berbagai upaya yang komprehensif dan berkesinambungan dalam
memeranginya.
Berbagai
upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta dan masyarakat selama
ini nampaknya belum menunjukkan hasil yang memuaskan, hal ini disebabkan oleh
berbagai kelemahan dan kendala terutama dalam koordinasi aplikasi program,
evaluasi dan monitoring serta masalah moral penegak hukum.
Dalam
rangka semangat untuk terus memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba, mari kita perbaiki kelemahan – kelemahan tersebut dan kita atasi
berbagai kendala dengan cara yang cerdas.
Demi bangsa dan negara ini,
mari kita semua terus berjuang memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba. Kita harus menang! Insyaallah.